Makalah Konsep Ketuhanan Dalam Islam
KATA PENGANTAR
Puji  syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang mana telah memberikan  kami semua kekuatan serta kelancaran dalam menyelesaikan makalah mata kuliah Penidikan Agama Islam yang berjudul “Konsep Ketuhanan dalam Islam”. dapat selesai seperti waktu yang telah kami rencanakan. Tersusunnya  karya ilmiah ini tentunya tidak lepas dari peran serta berbagai pihak  yang telah memberikan bantuan secara materil dan spiritual, baik secara  langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis mengucapkan  terima kasih kepada :
1.      Bapak Dosen pengasuh mata kuliah Pendidikan Agama Islam Universitas Negeri Makassar
2.      Orang tua yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis sehingga makalah ini dapat terselesaikan
3.      Teman-teman yang telah membantu dan memberikan dorongan semangat agar makalah ini dapat kami selesaikan
Semoga  Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang membalas budi baik yang tulus  dan ihklas kepada semua pihak yang penulis sebutkan di atas. Tak ada  gading yang tak retak, untuk itu kamipun menyadari bahwa makalah yang  telah kami susun dan kami kemas masih memiliki banyak kelemahan serta  kekurangan-kekurangan baik dari segi teknis maupun non-teknis. Untuk itu  penulis membuka pintu yang selebar-lebarnya kepada semua pihak agar  dapat memberikan saran dan kritik yang membangun demi penyempurnaan  penulisan-penulisan mendatang. Dan apabila di dalam makalah ini terdapat  hal-hal yang dianggap tidak berkenan di hati pembaca mohon dimaafkan
Makassar, 30 september 2011
Penulis 
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Manfaat
BAB II PEMBAHASAN
A.    Filsafat Ketuhanan Dalam Islam
B. Pembuktian Wujud Tuhan
C. Proses Terbentuknya Iman
D. Keimanan Dan Ketakwaan
E. Golongan - Golongan Dalam Islam
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Seorang  muslim yang paripurna adalah nalar dan hatinya bersinar, pandangan akal  dan hatinya tajam, akal pikir dan nuraninya berpadu dalam berinteraksi  dengan Allah dan manusia, sehingga sulit diterka mana lebih dulu  berperan kejujuran jiwanya atau kebenaran akalnya. Sifat kesempurnaan  ini merupakan karakter Islam, yaitu agama yang membangun kemurnian  aqidah atas dasar kejernihan akal dan membentuk pola pikir teologis yang  menyerupai bidang-bidang ilmu eksakta, karena dalam segi aqidah, Islam  hanya menerima hal-hal yang menurut  ukuran akal sehat dapat diterima  sebagai ajaran aqidah yang benar dan lurus.
Konsep ketuhanan dalam islam mulai muncul setelah wafat-Nya Rasulullah Muhammad SAW.  Karena muncul beberapa aliran yang sifatnya tradisional dan modern.  Sering sekali terjadi pendapat dan tafsiran terhadap Al-quran dan  Hadits. Ada yang melihat secara tekstual dan ada yang melihat secara  kontekstual.
Dalam  islam konsep ketuhanan merupakan hal utama dan paling awal yang harus  diperbaiki karena itu merupakan pondasi yang menopang kehidupan  keislamannya nanti. Pondasi itu harus benar-benar kuat dan kokoh karena  kalau tidak itu akan mengurangi hakekat keislaman seorang manusia.
Pembuktian  wujud tuhan seorang islam atau pembuktian wujud Allah sangatlah susah  karena tidak ada yang pernah dan bisa melihat Allah tapi hal yang harus  kita ketahui bahwa manusia tidak mungkin bisa ada tanpa pencipta, dunia  dan alam ini tidak mungkin bisa ada tanpa pencipta.Tidak mungkin semua  hal itu bisa ada tanpa adanya sang pencipta. Dan penciptanya itu adalah  Allah. Manusia, hewan, dan alam ini adalah akibat sedangkan akibatnya  adalah Allah SWT.
Keimanan  seseorang tumbuh dari lingkungan, seorang anak yang lahir dari keluarga  yang bagus ibadahnya kemungkinan besar ibadahnya juga bagus, keimanan  akan tumbuh dengan baik ketika kita pelihara, harus ada pembiasaan dalam  melakukan ibadah.
Beriman  kepada Allah tidak hanya sekedar mengucapkan tapi harus dikuatkan dalam  hati dan dibuktikan lewat perbuatan. Perbuatan yang kami maksud adalah  perbuatan yang sesuai dengan ajaran agama islam.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Seperti apakah filsafat ketuhanan dalam islam ?
2.      Bagaimana pembuktian wujud tuhan dalam islam ?
3.      Bagaimana proses terbentuknya iman ?
4.      Bagaimana keimanan dan ketakwaan seseorang ?
5. Ada berapa golongan - golongan dalam Islam ?
5. Ada berapa golongan - golongan dalam Islam ?
C.    MANFAAT
1.    Mengetahui filsafat ketuhanan dalam islam
2.    Mengetahui pembuktian wujud tuhan dalam islam
3.    Mengetahui proses terbentuknya iman
4.    Mengetahui keimanan dan ketakwaan seseorang
5. Mengetahui golongan - golongan dalam Islam
5. Mengetahui golongan - golongan dalam Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. FILSAFAT KETUHANAN DALAM ISLAM
Filsafat  Ketuhanan adalah pemikiran tentang Tuhan dengan pendekatan akal budi,  maka dipakai pendekatan yang disebut filosofis. Bagi orang yang menganut  agama tertentu (terutama agama Islam, Kristen, Yahudi) akan menambahkan  pendekatan wahyu di dalam usaha memikirkannya. Jadi Filsafat Ketuhanan  adalah pemikiran para manusia dengan pendekatan akal budi tentang Tuhan.  Usaha yang dilakukan manusia ini bukanlah untuk menemukan Tuhan secara  absolut atau mutlak, namun mencari pertimbangan kemungkinan-kemungkinan  bagi manusia untuk sampai pada kebenaran tentang Tuhan.
Meyakini  adanya Tuhan adalah masalah fithri yang tertanam dalam diri setiap  manusia, namun karena kecintaan mereka kepada dunia yang berlebihan  sehingga mereka disibukkan dengannya, mengakibatkan mereka lupa kepada  Sang Pencipta dan kepada jati diri mereka sendiri. Yang pada gilirannya,  cahaya fitrah mereka redup atau bahkan padam.
Walaupun demikian, jalan menuju Allah itu banyak. Para ahli ma’rifat berkata, “Jalan-jalan menuju ma’rifatullah sebanyak nafas makhluk.” Salah satu jalan ma’rifatullah adalah akal. Terdapat sekelompok kaum  muslim, golongan ahli Hadis (Salafi) atau Wahabi, yang menolak peran  aktif akal sehubungan dengan ketuhanan. Mereka berpendapat, bahwa  satu-satunya jalan untuk mengetahui Allah adalah nash (Al Quran dan  Hadis). Mereka beralasan dengan adanya sejumlah ayat dan riwayat yang  secara lahiriah melarang menggunakan akal (ra’yu). Padahal kalau kita  perhatikan, ternyata Al Quran dan Hadis sendiri mengajak kita untuk  menggunakan akal, bahkan menggunakan keduanya ketika menjelaskan  keberadaan Allah.
Perkataan Illah, yang selalu diterjemahkan "Tuhan" Dalam bahasa Alquran dipakai untuk menyatakan berbagai objek yang dibesarkan dan dipentingkan oleh manusia, misalnya dalam QS.Al jatsiyah (45) ; 23.
Ayat  diatas menunjukkan bahwa perkataan illah bisa mengandung arti berbagai  benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi) maupun benda nyata  (Fir’aun atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Untuk dapat mengerti  dengan definisi Tuhan atau Illah yang tepat, berdasarkan logika Alquran  sebagai berikut :
Tuhan  (Ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia  sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya.
Dalam ajaran islam diajarkan “la ilaaha illa Allah”. Susunan kalimat tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan penegasan “melainkan Allah”.  Hal itu berarti seorang muslim harus membersihkan diri dari segala  macam tuhan terlebih dahulu, sehingga yang ada dalam hatinya hanya ada  satu Tuhan yaitu Allah.
B. PEMBUKTIAN WUJUD TUHAN
Adanya  alam organisasinya yang menakjubkan dan rahasianya yang pelik, tidak  boleh memberikan penjelasan bahwa ada sesuatu kekuatan yang telah  menciptakannya, suatu akal yang tidak ada batasnya. Setiap manusia  normal percaya bahwa dirinya “ada” dan percaya pula bahwa alam  ini “ada”. Dengan dasar itu dan dengan kepercayaan inilah dijalani  setiap bentuk kegiatan ilmiah dan kehidupan.
Jika  percaya tentang eksistensi alam, maka secara logika harus percaya  tentang adanya Pencipta Alam. Pernyataan yang mengatakan: percaya adanya  makhluk, tetapi menolak adanya Khaliq adalah suatu pernyataan yang  tidak benar. Belum pernah diketahui adanya sesuatu yang berasal dari  tidak ada tanpa diciptakan. Segala sesuatu bagaimanapun ukurannya, pasti  ada penyebabnya. Oleh karena itu bagaimana akan percaya bahwa alam  semesta yang demikian luasnya, ada dengan sendirinya tanpa pencipta ?
Dalam al-Quran, penggambaran tentang pengakuan akan eksistensi Tuhan dapat ditemukan dalam Q.S al-Ankabut, 29: 61-63. Dalam ayat 61-63 dijelaskan bahwa: “bangsa arab yang penyembah berhala tidak menolak eksistensi pencipta langit dan bumi".
Berdasarkan  kandungan ayat ini, dapat dipahami bahwa bangsa arab sesungguhnya telah  memahami dan meyakini akan eksistensi tuhan sebagai pencipta langit dan  bumi serta pengaturnya. Namun menurut al-Quran, ada segelintir anak  manusia yang menolak  eksistensi tuhan, seperti penggambaran al-Quran  dalam Q.S. al-Jasyiah (45): 24. Ayat ini  menegaskan bahwa:
“mereka  berkata: kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan didunia saja, kita  mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.” Penolakan akan eksistensi Tuhan oleh sebagian kecil manusia itu hanya  didasarkan pada dugaan semata dan tidak didasarkan pada pengetahuan yang  meyakinkan seperti ditegaskan dalam klausa penutup ayat 24 tersebut, yaitu: "mereka sekali kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja."
Banyak  sekali ayat yang terkandung dalam Al-Quran yang menjelaskan tentang  keberadaan Allah sebagai tuhan semesta alam seperti yang terkandung  dalam surah Ali-Imran ayat 62 yang artinya “sesungguhnya ini adalah kisah yang benar. Tidak ada Tuhan selain Allah dan sungguh Allah MahaPerkasa, Mahabijaksana."
Ke-Esaan  Allah adalah mutlak. Ia tidak dapat didampingi atau disejajarkan dengan  yang lain. Sebagai umat Islam, yang mengikrarkan kalimat syahadat "La ilaaha illa Allah" harus menempatkan Allah sebagai prioritas utama dalam setiap tindakan dan ucapannya.
C. PROSES TERBENTUKNYA IMAN
Benih  iman yang dibawah sejak dalam kandungan memerlukan pemupukan yang  berkesinambungan. Benih yang unggul apabila tidak disertai pemeliharaan  yang intensif, besar kemungkinan menjadi punah. Demikian pula halnya  dengan benih iman. Berbagai pengaruh terhadap seseorang akan mengarahkan  iman/kepribadian seseorang, baik yang datang dari lingkungan keluarga,  masyarakat, pendidikan, maupun lingkungan termasuk benda-benda mati  seperti cuaca, tanah , air dan lingkungan flora serta fauna.
Pengaruh  pendidikan keluarga secara langsung maupun tidak langsung, baik yang  disengaja maupun tidak disengaja amat berpengaruh terhadap iman  seseorang. Tingkah laku orang tua dalam rumah tangga senantiasa  merupakan contoh dan teladan bagi anak-anak. Dalam hal ini Nabi SAW  bersabda: “setiap anak, lahir membawa fitrah, Orang tuanya yang berperan menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani atau majusi”.
Pada  dasarnya, proses pembentukan iman juga demikian. Diawali dengan proses  perkenalan, kemudian meningkat menjadi senang atau benci. Mengenal  ajaran Allah adalah langkah awal dalam mencapai iman kepada Allah. Jika  seseorang tidak mengenal ajaran Allah, maka orang tersebut tidak mungkin  beriman kepada Allah.
Disamping  proses pengenalan, proses pembiasaan juga perlu diperhatikan, karena  tanpa pembiasaan, seseorang bisa saja semula benci berubah menjadi  senang. Seorang anak harus dibiasakan untuk melaksanakan apa yang  diperintahkan Allah dan menjauhi hal-hal yang dilarang-Nya, agar kelak  setelah dewasa menjadi senang dan terampil dalam melaksanakan  ajaran-ajaran Allah.
D. KEIMANAN DAN KETAKWAAN
Iman  atau kepercayaan merupakan dasar utama dalam memeluk suatu agama karena  dengan keyakinan dapat membuat orang untuk melakukan apa yang  diperintahkan dan apa yang dilarang oleh keyakinannya tersebut atau  dengan kata lain iman dapat membentuk orang jadi bertaqwa.
Dalam surah Al-Baqarah ayat 165 dikatakan bahwa orang beriman adalah orang yang amat sangat cinta  kepada Allah. Oleh karena itu beriman kepada Allah berarti amat sangat  cinta dan yakin terhadap ajaran Allah yaitu Al-Quran. Jika kita  ibaratkan dengan sebuah bangunan, keimanan adalah pondasi yang  menopang segala sesuatu yang berada diatasnya, yang kokoh tidaknya  bangunan itu sangat tergantung pada kuat tidaknya pondasi tersebut.  Meskipun demikian keimanan saja tidak cukup ia harus diwujudkan dengan  amal perbuatan yang baik, yang sesuai dengan ajaran agama yang kita  anut. Keimanan tidaklah sempurna jika hanya diyakini dalam hati tapi  juga harus diwujudkan dengan diikrarkan oleh lisan dan dibuktikan dengan  tindakan dalam kehidupan sehari-hari.
Keimanan  adalah perbuatan yang bila diibaratkan pohon, mempunyai pokok dan  cabang. Iman bukan hanya berarti percaya, melainkan keyakinan yang  mendorong seorang muslim berbuat amal shaleh.seseorang dikatakan beriman  bukan hanya percaya terhadap sesuatu, melainkan mendorongnya untuk  mengucapkan dan melakukan sesuatu sesuai keyakinannya
Berbicara masalah keimanan, kita bisa melihat takaran keimanan seseorang dari tanda-tandanya seperti :
1.      Jika menyebut atau mendengar nama Allah hatinya bergetar, dan berusaha agar Allah tidak lepas dari ingatannya.
2.      Senantiasa tawakkal, yaitu bekerja keras berdasarkan keimanan
3.      Tertib dalam melaksanakan shalat dan selalu melaksanakan perintahnya
4.      Menafkahkan rizky yang diperolehnya di jalan Allah
5.      Menghindari perkataan yang tidak bermanfaat dan menjaga kehormatan
6.      Memelihara amanah dan menepati janji
Manfaat dan pengaruh Iman dalam kehidupan manusia :
1.      Iman melenyapkan kepercayaan kepada kekuasaan benda
2.      Iman menanamkan semangat berani menghadapi maut
3.      Iman memberikan ketentramann jiwa
4.      Iman mewujudkan kehidupan yang baik
5.      Iman melahirkan sikap ikhlas dan konsekuen
Takwa  berasal dari kata waqa, yaqi, wiqayah yang berarti takut, menjaga,  memelihara dan melindungi, maka secara etimologi taqwa dapat diartikan  sikap memelihara keimanan yang diwujudkan dalam pengamalan ajaran agama  Islam secara utuh dan konsisten (istiqomah). Hakikat takwa  sebagaimana  yang disampaikan oleh Thalq bin Hubaib “Takwa adalah engkau melakukan  ketaatan kepada Allah berdasarkan nur (petunjuk) dari Allah karena  mengharapkan pahala dari-Nya Dan engkau meninggalkan maksiat kepada  Allah berdasarkan cahaya dari Allah karena takut akan siksa-Nya."
Kata  takwa juga sering digunakan untuk istilah menjaga diri atau menjauhi  hal-hal yang diharamkan, sebagaimana dikatakan oleh Abu Hurairah  Radhiallaahu anhu ketika ditanya tentang takwa, beliau mengatakan:
“Apakah kamu pernah melewati jalanan yang berduri?”
Si penanya menjawab, ”Ya”.
Beliau balik bertanya, “Lalu apa yang kamu lakukan?”
Orang itu menjawab, “Jika aku melihat duri, maka aku menyingkir darinya, atau aku melompatinya atau aku tahan langkah”.
Maka berkata Abu Hurairah, ”Seperti itulah takwa".
Karakteristik orang yang bertakwa secara umum dapat dikelompokkan ke dalam 5 kategori / indikator ketaqwaan:
1.       Iman kepada Allah,iman kepada Malaikat, Kitab-kitab dan para nabi,  dengan kata lain instrumen ketaqwaan yang pertama ini dikatakan dengan  memelihara Fitrah Iman.
2.       Mengeluarkan harta yang dikasihnya kepada kerabat, anak yatim,  orang0orang miskin, orang-orang yang putus di perjalanan, Atau dengan  kata lain mencintai umat manusia.
3.      Mendirikan shalat dan zakat
4.      Menepati janji
5.      Sabar disaat kepayahan, dan memiliki semangat perjuangan
Hubungan Takwa dengan Allah SWT
Seseorang  yang bertakwa (muttaqin) adalah orang yang menghambakan dirinya kepada  Allah dan selalu menjaga hubungan dengan-Nya setiap saat. Memelihara  hubungan dengan Allah terus menerus akan menjadi kendali dirinya  sehingga dapat menghindari dari kejahatan dan kemungkaran dan membuatnya  konsisten terhadap aturan-aturan Allah. Karena itu inti ketaqwaan  adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya.
Memelihara  hubungan dengan Allah SWT dimulai dengan melaksanakan tugas (ibadah)  secara sungguh-sungguh dan ikhlas, dan memelihara hubungan dengan Allah  dilakukan juga dengan menjauhi perbuatan yang dilarang Allah.
Hubungan Takwa dengan sesama manusia
Hubungan  dengan Allah menjadi dasar bagi sesama manusia yang bertakwa akan dapat  dilihat dari peranannya ditengah-tengah masyarakat. Sikap takwa  tercermin dalam bentuk kesediaan untuk mendorong orang lain, melindungi  yang lemah dan berpihak pada kebenaran dan keadilan.
Hubungan Takwa dengan Diri sendiri
1.       Sabar, yaitu sikap diri menerima apa saja yang datang kepada  dirinya, baik perintah, larangan, maupun musibah yang menimpanya. Sabar  terhadap perintah adalah menerima dan melaksanakan perintah dengan  ikhlas. Dalam melaksanakan perintah terhadap upaya untuk mengendalikan  diri agar perintah itu dapat dilaksanakan dengan baik.
2.       Tawakal, yaitu menyerahkan keputusan segala sesuatu, ikhtiar dan  usaha kepada Allah. Tawakal bukanlah menyerah, tetapi sebaliknya usaha  maksimal tetapi hasilnya diserahkan seluruhnya kepada Allah yang  menentukan.
3.       Syukur, yaitu sikap berterima kasih atas apa saja yang diberikan  Allah atau sesame manusia. Bersyukur kepada Allah adalah sikap berterima  kasih terhadap apa saja yang telah diberikan Allah, baik dengan ucapan  maupun perbuatan. Bersyukur dengan perbuatan adalah mengucapkan hamdalah  sedangkan bersyukur dengan perbuatan adalah menggunakan nikmat yang  diberikan Allah sesuai dengan keharusannya.
4.       Berani, yaitu sikap diri yang mampu menghadapi resiko sebagai  konsekuensinya dari komitmen dirinya terhadap kebenaran. Jadi berani  berkaitan dengan nilai – nilai kebenaran. Kebenaran lahir dari hubungan  seseorang dengan dirinya terutama berkaitan dengan pengendalian dari  sifat – sifat buruk yang datang dari dorongan hawa nafsunya.
E.        GOLONGAN – GOLONGAN DALAM ISLAM
Dalam  perkembangannya, golongan – golongan dalam Islam yang berlainan aqidah  semakin banyak bermunculan. Berikut adalah golongan – golongannya:
1)      Ahlussunnah wal Jama’ah
Ahlussunnah  adalah satu – satunya aliran yang meyakini aqidah Islam secara lurus  sesuai apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Nama Ahlussunnah wal  Jama’ah sendiri memiliki arti pengikut sunnah Nabi Muhammad saw dan para  Khulafa ur Rasyidin sahabat beliau. Ahlussunnah adalah golongan yang  disebutkan dalam hadits sebagai satu – satunya aliran yang pengikutnya  akan masuk surga. 
Golongan  Ahlussunnah dirumuskan oleh Syeikh Abu Hasan ‘Ali Al-Asy’ari pada abad  III Hijriyah sebagai reaksi terhadap kemunculan paham – paham aqidah  yang sesat pada masa itu. Beliau adalah seorang ulama besar yang lahir  di Basrah, Iraq – pada tahun 260 H. Tokoh besar Ahlussunnah lainnya  adalah Syeikh Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidi.  Beliau lahir di Desa Maturid, Samarkand – pada tahun 333 H. Beliau  adalah ulama yang memperinci aqidah Ahlussunnah. 
2)      Syi’ah
Syi’ah  dalam Bahasa Arab memiliki arti “pengikut”. Golongan Syi’ah menyebut  diri mereka sebagai “pengikut Ali bin Abi Thalib ra”. Golongan Syi’ah  berkeyakinan bahwa khalifah yang sah sepeninggal Nabi Muhammad saw  hanyalah Sayidina Ali bin Abi Thalib ra. 
Pendiri  golongan ini adalah Abdullah bin Saba’, seorang pendeta Yahudi dari  Yaman yang masuk Islam. Pada masa kekhalifahan Sayidina Utsman bin Affan  ra di tahun 30 H, Abdullah bin Saba’ memeluk agama Islam dan berkunjung  ke Madinah. Sesampainya di Madinah, ia tidak mendapatkan sambutan  sebagai tokoh besar sesuai yang diharapkannya dari khalifah sehingga ia  menganggap umat Islam tidak menghargainya sebagaimana umat Yahudi  menghargainya sebelum ia masuk Islam. Ia menjadi benci terhadap khalifah  Utsman bin Affan ra sehingga membangun golongan sendiri dengan paham  kekhalifahan Sayidina Utsman bin Affan ra dan 2 sahabat pendahulunya  tidak sah, karena mereka merebut tahta khalifah dari Sayidina Ali bin  Abi Thalib ra. 
Keyakinan Syi’ah yang bertentangan dengan Ahlussunnah adalah sebagai berikut:
a)       Pemimpin yang sah pada masa khulafaur rasyidin hanya 1 yaitu  Sayidina Ali bin Abi Thalib ra, ketiga sahabat lainnya (Sayidina Abu  Bakar ra, Umar ra, dan Utsman ra) adalah pemimpin yang tidak sah karena  merebut kekhalifahan dai Sayidina Ali ra.
b)       Nabi Muhammad saw tidak digantikan oleh khalifah, melainkan  imam-yang juga berkedudukan sebagai pemimpin agama layaknya nabi. Para  imam bersifat maksum seperti nabi, tidak pernah berbuat dosa.
c)      Roh para imam akan tetap ada dalam diri imam penggantinya secara turun – temurun dan suci
d)       Pengikut Syi’ah memiliki syareat untuk “taqiyah”, yaitu  menyembunyikan paham asli mereka dan memperlihatkan keyakinan  Ahlussunnah pada dunia, sehingga hal ini melahirkan kebohongan dalam  sikap mereka, dan kebohongan taqiyah ini tidak dosa menurut mereka.
e)       Nikah Mut’ah adalah halal. Nikah Mut’ah adalah pernikahan tanpa  wali dan saksi, yang jangka waktu hubungan pernikahannya ditentukan  sesuai kesepakatan antara pengantin pria dan wanita sejak awal. Nikah  Mut’ah membolehkan menikahi siapa saja, lebih dari 4 wanita. Setelah  jangka waktu itu habis dan mahar dibayar, hubungan pernikahan berakhir. 
3)      Khawarij
Golongan  Khawarij didirikan oleh kumpulan orang – orang yang membenci Mu’awiyah  karena ia melawan kekhalifahan yang sah, sekaligus membenci khalifah Ali  bin Abi Thalib yang mereka anggap lemah dalam menegakkan kebenaran  karena mau diajak berunding damai oleh pihak Mu’awiyah yang hampir kalah  dalam Perang Siffin. Dalam bahasa Arab khawarij memiliki arti “keluar”,  yakni orang – orang yang tak memihak Mu’awiyah maupun khalifah Ali bin  Abi Thalib ra. 
Paham Khawarij yang keliru adalah sebagai berikut:
a)      Setiap orang yang tidak setuju dengan paham mereka adalah kafir, dan orang – orang kafir halal darahnya.
b)       Khalifah Ali bin Abi Thalib ra adalah kafir karena mau menerima  ajakan perundingan damai dengan pihak pemberontak pada Perang Siffin,  padahal ketika itu sudah hampir memenagkan pertempuran.
c)      Mu’awiyah dan kelompoknya adalah kafir karena telah melawan kekhalifahan Sayidina Ali bin Abi Thalib ra.
d)       Semua dosa adalah dosa besar. Setiap orang muslim yang berbuat  dosa adalah kafir, wajib diperangi dan boleh dibunuh serta dirampas  hartanya.
e)       Anak – anak orang kafir yang meninggal sebelum baligh akan tetap  dimasukkan ke neraka karena mengikuti orang tuanya yang kafir, padahal  orang yang belum baligh tidak memiliki dosa. 
4)      Murji’ah
Arti  Murji’ah adalah orang – orang yang menangguhkan. Golongan Murji’ah  adalah orang – orang yang menjauhkan diri dari pertikaian politik di  awal abad 1 Hijriyah pada masa kekhalifahan Sayidina Ali bin Abi Thalib  ra. Ketika mereka dimintai pendapat tentang kemelut politik di saat itu,  mereka selalu menjawab, “Kita tunggu saja penyelesaian masalah ini  sampai di hadapan Tuhan pada saatnya Hisab amal nanti, di situlah nanti  kita melihat mana yang benar dan mana yang salah”. Lama – kelamaan opini  ini semakin merembet ke segala hal dan kemudian membentuk pemikiran  yang salah tentang aqidah sebagai berikut:
a)       Iman itu cukup dengan mengenal hanya Tuhan dan para rasulNya.  Setelah beriman seperti itu, maka dosa tidak berpengaruh. Tidak apa –  apa melakukan dosa atau hal – hal yang membuat seseorang menjadi kafir  seperti menghina nabi, Qur’an, dan lain – lain, sebagaimana perbuatan  baik tidak ada artinya apabila seseorang masih kafir. 
b)       Orang yang bersalah tidak perlu dihukum di dunia. Cukuplah Allah  swt yang memberikan hukuman yang paling adil di akhirat nanti. Sehingga  menurut keyakinan ini, hukum syareat Islam dianggap tidak perlu sehingga  umat Islam tidak perlu menerapkan syareat Islam dalam kehidupan sehari –  hari. 
5)      Mu’tazilah
Mu’tazilah  dalam bahasa Arab berarti “orang – orang yang memisahkan diri”. Nama  Mu’tazilah mengacu pada sebutan untuk pendirinya, Washil bin Atha’.  Washil bin Atha lahir pada tahun 80 H, beliau adalah murid dari ulama  besar di Baghdad, Imam Hasan Bashri. Washil bin Atha’ menentang  pelajaran yang diberikan gurunya berdasarkan Al-Qur’an dan hadits, serta  membuat ajaran baru berdasarkan logika. 
Golongan  Mu’tazilah adalah orang – orang yang lebih mempercayai rasionalitas  mereka daripada Al-Qur’an dan hadits. Sehingga apabila ada ayat  Al-Qur’an maupun hadits yang menurut mereka tidak masuk akal, mereka  akan memutar – mutar maknanya sehingga sesuai dengan akal mereka. Ajaran  – ajaran Mu’tazilah yang bertentangan dengan paham Ahlussunnah adalah:
a)       Baik dan buruk adalah berdasarkan akal, bukan Al-Qur’an dan  Hadits. Sehingga penilaian benar dan salah menjadi relatif karena akal  manusia terus berkembang dan berubah seiring perkembangan budaya dan  zaman. 
b)       Allah tidak memiliki sifat apapun, karena kalau Allah memiliki  sifat maka Allah tidak Maha Esa karena akan ada Allah itu sendiri dan  sifatNya secara terpisah (contoh Allah Ar-Rahman berarti artinya adalah  ada Allah dan ada Sang Maha Pengasih, keduanya terpisah. Berarti Allah  tidak Maha Esa, karena ada Tuhan Allah dan Tuhan Maha Pengasih). 
c)      Al-Qur’an adalah makhluk, diciptakan Tuhan. Padahal Al-Qur’an adalah firman Allah swt, bukan makhlukNya. 
d)       Orang mu’min yang berbuat dosa besar akan dimasukkan ke neraka  untuk selama – lamanya karena dosa besarnya, namun siksaan diperingan  karena orang tersebut beriman sewaktu di dunia. Maka tempat orang itu  kelak adalah bukan di neraka, yg siksaannya beratm tapi bukan juga di  surga, yang bebas dari siksaan. Tempat mereka adalah di antara surga dan  neraka. Ahlussunnah berkeyakinan hanya ada dua tempat di akhirat, yaitu  surga dan neraka, tidak ada tempat antara. Sehingga orang mu’min yang  berbuat dosa bisa saja mendapat ampunan total atas rahmat Allah swt,  mendapat pengurangan siksa di neraka karena syafaat rasul saw, atau  disiksa sesuai masa hukumannya di neraka kemudian setelah masa hukuman  habis orang tersebut dibebaskan dari neraka dan dimasukkan ke surga. 
e)       Nabi Muhammad saw tidak pernah melakukan perjalanan mi’raj, yang  lokasi tujuannya adalah Sidratul Muntaha, dan hanya ditempuh dalam 1  malam, karena ini adalah sesuatu yang irasional. Padahal dalam hadits  diterangkan bahwa rasul saw benar – benar menempuh perjalanan itu dengan  jasad dan ruhnya dalam alam sadar serta bukan mimpi. 
6)      Qadariyah
Arti Qadariyah adalah “paham kuasa”. Golongan Qadariyah adalah golongan yang memiliki paham “seluruh aktivitas manusia adalah hasil keinginan manusia itu sendiri tanpa ada campur tangan Tuhan”. Golongan ini merupakan cabang dari Mu’tazilah, karena paham Qadariyah lahir dari pemikiran Mu’tazilah. 
Paham  Qadariyah amat bertentangan dengan keyakinan aqidah Ahlussunnah.  Qadariyah meyakini bahwa Allah swt menciptakan manusia, kemudian  berlepas tangan setelah itu. Sehingga Allah swt tidak tahu apa yang akan  dilakukan oleh manusia. Allah swt hanya akan melihat dan memperhatikan  apa yang diperbuat oleh ciptaanNya tersebut. Hal ini amat berlawanan  dengan keyakinan Ahlussunnah, dimana Allah swt adalah Maha Tahu akan  semua perbuatan manusia, baik yang sudah, sedang, maupun belum  dikerjakan. 
7)      Jabariyah
Jabariyah dalam bahasa Arab memiliki arti “keterpaksaan”. Golongan Jabariyah adalah golongan yang memiliki keyakinan “Seluruh  aktivitas manusia merupakan kemauan Tuhan. Manusia tidak dapat  melakukan apa – apa dan hanya bergerak secara terpaksa mengikuti  kehendak Tuhan”. Tidak ada konsep ikhtiar dalam keyakinan Jabariyah. 
Golongan  Jabariyah didirikan oleh Jaham bin Safwan, sekretaris Harits bin  Sureih, pejabat daerah Khurasan pada era pemerintahan Bani Umayyah.  Popularitas Jaham semakin meningkat karena ia giat melakukan orasi  menentang paham Qadariyah. Ia menyuarakan keyakinan Ahlussunnah akan  seluruh perbuatan manusia pada hakikatnya dijadikan Tuhan karena Tuhan  Maha Kuasa. Namun pemikirannya terlalu radikal hingga mencapai  kesimpulan bahwa manusia sama sekali tidak melakukan apa – apa dan hanya  Tuhan yang menggerakkannya. 
Keyakinan Jabariyah yang menyimpang adalah sebagai berikut:
a)       Tidak ada usaha dan ikhtiar manusia. Semua perbuatan manusia  adalah dikendalikan Tuhan. Kalau manusia ibadah maka sebenarnya  Tuhan-lah yang menggerakkannya, begitu pula kalau manusia berbuat dosa,  berarti Tuhan-lah yang berdosa. Maka tidak apa – apa manusia berbuat  maksiat karena sebenarnya Tuhan-lah yang menggerakkannya. 
b)       Iman cukup hanya dengan diakui dalam hati. Padahal menurut  keyakinan Ahlussunnah iman adalah pengakuan dalam hati dan ucapan yang  didukung dengan tindakan nyata untuk membuktikannya. 
8)      Najariyah
Golongan  Najariyah didirikan oleh murid Basyar Al-Marisi, salah seorang guru  besar penganut aliran Mu’tazilah, yaitu Abu Abdillah Husein bin Muhammad  An-Najar. Nama Najariyah mengacu pada gelar pendirinya yaitu An-Najar.  Golongan ini didirikan antara 198-218 H pada masa Khalifah Al-Ma’mun. 
Paham  Najariyah berusaha menggabungkan paham aliran Mu’tazilah, Syi’ah,  Ahlussunnah, Jabariyah, dan Murjiah menjadi satu. Cara ini tentu  menghasilkan kesimpulan – kesimpulan yang saling bertentangan sehingga  hanya memiliki sedikit pengikut dan pada akhirnya aliran ini punah.
Paham Najariyah yang sesat adalah sebagai berikut:
a)       Orang mu’min yang berbuat dosa dan tidak bertaubat semasa hidupnya  pasti akan dimasukkan ke neraka. Padahal menurut Ahlussunnah masih ada  kemungkinan orang tersebut tidak masuk ke neraka karena mendapat syafaat  dari rasul saw. 
b)       Tuhan tidak bisa dilihat dengan mata kepala manusia di surga.  Padahal dalam keyakinan Ahlussunnah, orang yang masuk surga akan dapat  melihat Allah swt dengan mata kepalanya sendiri sesuai QS Al-Qiyamah: 22-23. 
9)      Musyabihah
Musyabihah dalam bahasa Arab memiliki arti “menyerupakan”.  Golongan Musyabihah adalah orang – orang yang menyerupakan Allah swt  dengan makhlukNya. Hal ini dikarenakan mereka menafsirkan ayat – ayat  Qur’an hanya berdasarkan makna lugasnya, sedangkan banyak sekali ayat –  ayat Qur’an yang justru maknanya adalah berupa kiasan.
Penafsiran yang salah tersebut menimbulkan keyakinan yang keliru sebagai berikut:
a)      Allah swt memiliki tangan seperti manusia, menurut ayat:
“Tangan Allah di atas tangan mereka” (Al-Fath: 10)
Padahal ayat tersebut merupakan ungkapan yang bermakna kias. Arti sebenarnya adalah:
“Kekuasaan Allah di atas kekuasaan mereka” (Al-Fath: 10)
b)      Allah swt duduk di atas tahta Arasy sebagaimana seorang Raja duduk di atas kursi raja, menurut ayat:
“Allah Ar-Rahman duduk di atas Arasy” (Thaha: 5)
Padahal arti kiasan ayat tersebut yang seharusnya adalah:
“Allah Ar-Rahman menduduki (menguasai) Arasy” (Thaha: 5) 
c)      Allah swt memiliki tubuh yang bercahaya, berdasarkan ayat:
“Allah adalah cahaya langit dan bumi” (An-Nur: 35)
Padahal arti kiasan sebenarnya dari ayat tersebut adalah:
“Allah adalah pemberi petunjuk di langit dan di bumi” (An-Nur: 35) 
10)   Wahabi
Paham  Wahabi didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Nama Wahabi mengacu  pada nama orang tua pendiri aliran ini, yaitu Abdul Wahab. Muhammad bin  Abdul Wahab lahir di Desa ‘Ainiyah, sebuah desa kecil di jazirah Arab,  pada tahun 1115 H. Pemikirannya lahir dari literatur para tokoh Islam  sesat dari masa – masa sebelumnya. Aliran Wahabi cenderung bersikap  radikal dan mengkafirkan orang – orang yang tidak setuju dengan fatwa –  fatwa mereka.
Fatwa – fatwa keliru Wahabi adalah sebagai berikut:
a)       Ziarah kubur hukumnya haram, karena umat Islam tidak boleh berdo’a  meminta kepada selai Allah swt, apalagi meminta kepada orang yang sudah  mati. Padahal menurut paham Ahlussunnah ziarah kubur bukan berarti  memohon pada ahli kubur yang diziarahi, melainkan mengunjungi makam –  makam orang shaleh yang sudah meninggal. Hal ini ditujukan untuk  mengingatkan kita akan jasa mereka yang telah berkontribusi terhadap  perkembangan Islam semasa hidup mereka, mendo’akan kebaikan mereka, dan  memohon pada Allah swt agar kita dapat melakukan amal yang lebih  bernilai seperti mereka. 
b)       Perayaan maulid nabi adalah mengada –ada dan hukumnya haram karena  tidak ada contoh langsung dari Nabi Muhammad saw sendiri. Padahal isi  acara perayaan maulid nabi adalah berdo’a bersama untuk meneladani  kehidupan beliau saw dan sama sekali tidak mengandung hal – hal musyrik  yang dilarang agama.
11)   Ahmadiyah
Nama  Ahmadiyah diambil dari nama pendirinya yaitu Mirza Gulam Ahmad. Mirza  Gulam Ahmad lahir di Desa Qadiyan, Punjab, Pakistan-pada tahun 1836 M.  Mirza Gulam Ahmad menobatkan dirinya sebagai nabi setelah Nabi Muhammad  saw. Pernyataan ini lahir dari pengaruh ajaran Syi’ah yang berkembang  pesat di daerahnya ketika itu. Dalam keyakinan Syi’ah, kenabian dan  kerasulan belum putus. Imam – imam mereka adalah para penerus kenabian  Muhammad saw dan masih menerima wahyu Tuhan.
Paham sesat Ahmadiyah adalah sebagai berikut:
a)      Mirza Gulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah-adalah nabi. Padahal nabi tereakhir adalah nabi Muhammad saw. 
b)       Perintah berjihad hanyalah untuk berjuang secara lisan. Padahal  menurut paham Ahlussunnah jihad adalah segala bentuk usaha untuk  memperjuangkan agama Allah swt, baik dalam bentuk ucapan maupun tindakan  lainnya. 
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran tentang Tuhan dengan pendekatan akal budi, maka dipakai pendekatan yang disebut filosofis.
1)  Manusia, hewan, tumbuhan dan seluruh alam semesta ini lahir pasti ada  penyebabnya, pasti ada penciptanya, dan penciptanya itu adalah Allah  tuhan bagi seluruh makhluk.
2) Keimanan tidka hanya diucapkan lewat bibir, tapi juga harus diyakini dalam hati, dan dibuktikan lewat perbuatan
3)  Iman atau kepercayaan merupakan dasar utama seseorang dalam memeluk  sesuatu agama karena dengan keyakinan dapat membuat orang untuk  melakukan apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang oleh keyakinannya  tersebut atau dengan kata lain iman dapat membentuk orang jadi  bertaqwa.
4) Takwa adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhkan larangannya.
5)  Iman adalah percaya pada pandangan dan sikap hidup dengan ajaran Allah,  yaitu al-Qur’an menurut Sunnah Rasul, atau dengan selain ajaran Allah,  yang terwujud ke dalam ucapan dan perbuatan.
SARAN
Semoga  makalah ini dapat menjadi referensi bagi semua pihak untuk dapat lebih  mengembangkan ilmu pengetahuan Agama Islam dan dapat pula mengerti dan  paham akan ketakwaan keimanannya kepada Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu, dkk. 1991. Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam. Jakarta, Bumi Aksara.
Azra,  Azyumardi, dkk. 2002. Pendidikan Agama Islam Perguruan Tinggi                                                                   umum. Jakarta,  Departemen Agama RI.
Yunus, Muhammad. 1997. Pendidikan Agama Islam untuk SLTP. Jakarta ,Erlangga.
Suryana, A. Toto. et.el. Pendidikan Agama Islam, (Bandung : tiga mutiara, 1996)
KH. Siradjuddin Abbas. 1995. I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Jakarta: Pustaka Tarbiyah.
 

 
0 komentar:
Posting Komentar